Menu
Loading...
Tuesday, January 10, 2017

Over kualifikasi dan kurang kompeten

Tak ada yang lebih pedih daripada menjadi seorang
pengagguran. Apalagi pengangguran terdidik. Masa kuliah 4 atau 5 tahun seperti terbuang sia-sia, juga biaya kuliah puluhan
juta dari orang tua.
Harga diri seorang yang jobless juga bisa termehek-mehek.
Apalagi kalo nanti pas lebaran ditanya, oh sudah lulus ya, sekarang kerja dimana. Masih pengangguran bude. Pedih.
Galau.

Jadi kenapa banyak lulusan Sarjana S1 jadi pengangguran?
Ada setidaknya lima alasan atau faktor kunci yang bisa
menjelaskan kenapa banyak sarjana S1 yang jadi
pengangguran. Mari kita bedah satu demi satu.

*# Faktor 1*: pertumbuhan ekonomi lemah
Pada akhirnya, elemen ini adalah salah satu faktor kunci yang menentukan angka pengangguran sebuah negara. Sejatinya, berdasar rumus standar internasional, angka
pengangguran di Indonesia hanya sekitar 5.81%, masih relatif bagus, dibanding misalnya angka pengangguran di Perancis yang tembus 9% atau bahkan di Spanyol yang lebih ngeri, 23 Idealnya, angka pengangguran itu sebaiknya 3%. Kalau lebih
rendah malah bisa bahaya, karena industri atau perusahaan akan sangat kesulitan mencari tenaga kerja baru.

Pertumbuhan ekonomi yang kurang bagus membuat industri dan perusahaan enggan melakukan ekspansi. Artinya
kebutuhan tenaga kerja baru juga stagnan. Muncul-lah barisan masif pengangguran Sarjana S1.

*#Faktor 2* : Over qualified skill
Secara mengejutkan data menunjukkan secara persentase, jumlah lulusan S1 yang menganggur ternyata lebih tinggi dibanding lulusan SMK/SMA atau bahkan SLTP (maksudnya dari total lulusan Sarjana, persentase yang menganggur lebih banyak dibanding lulusan SMA/SMK).
Dengan kata lain, secara persentase, lulusan SMA/SMK lebih
banyak yang terserap dalam lapangan kerja dibanding lulusan S1
(waduh, ngerti gitu dulu ndak usak kuliah yak. Uhuk).
Kenapa bisa begitu?
Simpel : karena kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan banyak
industri di tanah air ya cukup sebatas lulusan SMK/SMA.

Ribuan pabrik di Indonesia masih berada pada level
“OPERATOR PRODUKSI”, belum melangkah ke fase yang lebih advance.
Karena kelasnya masih hanya OPERATOR, ya butuhnya cukup lulusan SMA/SMK. Ngapain lulusan S1. Nanti malah sok
gengsi dan minta gaji mahal. Uhuk.

*#Faktor 3* : Terlalu banyak Lulusan
Di tanah air ini mungkin terlalu banyak lulusan jurusan sosial humaniora (ekonomi, manajemen, hukum, sospol, sastra, dst, dst).

Di hampir semua kampus di Indonesia pasti ada fakultas
Hukum dan Ekonomi. Padahal mungkin kebutuhan lulusan dua
fakultas ini tidak sebanyak pasokan jumlah sarjana yang lulus.
Over supply. Akhirnya jadi pengangguran.

Demikian juga, ribuan sarjana sosial lulus, dan menemui fakta
bahwa gelar yang mereka pegang ternyata tidak laku di pasaran. Akhirnya jadi pengangguran lagi.

*#Faktor 4* : Lulusan kurang kompeten.
Selain faktor-faktor makro seperti diatas, mungkin banyak pengangguran karena faktor sarjananya sendiri yang kurang
kompeten. Maksudnya banyak lulusan Sarjana S1 yang penguasaan teori dan kapasitas intelektualnya tidak kapabel.
Banyak orang suka bilang, wah percuma kuliah itu hanya teori. Ini statement yang agak bodoh.

Untuk *menjadi sarjana top ya penguasaan teori atas bidang ilmu-mu harus benar-benar ngelothok*. Anda tidak akan mungkin bisa menjadi profesional hebat kalau penguasaan teori-mu amburadul.

Kalau Anda mau jadi Manajer Marketing yang hebat, ya Anda harus paham benar tentang teori perilaku konsumen, teori branding dan teori strategi. Kalau Anda mau jadi manajer HRD
yang hebat ya Anda harus paham teori tentang human capital, teori tentang talent management, dst, dst.
Sekali lagi, Anda hanya akan mudah menjadi jobless atau
karyawan abal-abal jika penguasaan teori akan bidang kerjamu
sangat buruk.
Maka problemnya bukan “kuliah itu kebanyakan teori”.

Problemnya justru banyak lulusan S1 yang penguasaan teori –nya NOL BESAR.
Mungkin karena di era digital sekarang ini, mayoritas
mahasiswa lebih asyik baca status di social media daripada baca buku berkualitas setebal 300 halaman. Lalu dengan
seenaknya bilang, wah kuliah itu hanya teori doang.
Teori doang gundulmu alus le.

*#Faktor 5* : Kurangnya MOTIVASI / GOLD POINT
oke ini adalah faktor yang terakhir. Kalau faktor yang keempat menyangkut aspek kognitif (daya intelektualitas dan penguasaan ilmu dan teori), maka faktor yang kelima ini menyangkut hasil nyata : kebanyakan sarjana nganggur karena memang sama sekali tidak punya something wow. Hidupnya
datar-datar saja, dan terlalu mainstream.

Sudah penguasaan teorinya buruk, ditambah selama menjadi mahasiswa selama 4 – 5 tahun, tidak pernah menghasilkan sesuatu yang layak dijadikan
"penambah nilai jual” dihadapan tim rekrutmen
(mungkin saat jadi mahasiswa kerjanya cuma setor muka kuliah, pulang ke kosan, main game, sibuk socmed, hahahihi, setor muka kuliah lagi, begitu terus sampe lulus).

Kalau gak punya something wow dan penguasaan teori buruk kok bermimpi diterima kerja di Chevron atau Citibank dengan gaji pertama langsung 10 juta/bulan. Gaji 10 juta dari Hongkong ?!!

Wow Factor ini memang tidak mudah direngkuh. Mungkin dibutuhkan kreativitas, daya juang, resourcefulness dan
ketekunan untuk menciptakannya.

*Tanpa wow factor*, seorang lulusan sarjana tidak akan bisa stand out above the crowd. Nasib dia akan sama dengan 400 ribuan sarjana lainnya : masuk jadi penambah angka statistik
pengangguran.

*@sumber : strategimanajemen*

Share this article with your friends.

0 comments:

Post a Comment

 
TOP